Label:

Bab 6 Lanjutan Catatan Harian Dr. John Watson


Bab 6 Lanjutan Catatan Harian Dr. John Watson


PERLAWANAN hebat yang dilakukan tawanan kami ketika hendak ditangkap tampaknya tidak serta-merta membuat sikapnya juga brutal terhadap kami. Setelah menyadari dirinya tidak berdaya, pria itu malah tersenyum sopan dan mengatakan semoga tak ada yang terluka di antara kami. 

"Kurasa kau akan membawaku ke kantor polisi," katanya kepada Sherlock Holmes. "Keretaku ada di bawah. Kalau kau melepaskan ikatan kakiku, aku bisa berjalan sendiri. Tubuhku tidak seringan dulu." 

Gregson dan Lestrade bertukar pandang, seakan-akan mereka menganggap permintaan ini sangat lancang, tapi Holmes seketika mempercayai kata-kata tawanan tersebut dan melepaskan handuk yang mengikat pergelangan kakinya. Pria itu lalu bangkit dan meregangkan kaki, sepertinya ia ingin memastikan bahwa keduanya telah bebas lagi. Aku memperhatikannya dan berpikir, jarang sekali aku melihat pria sekekar ini. Wajahnya yang cokelat akibat terbakar matahari memancarkan ekspresi kebulatan tekad serta semangat yang sama tangguhnya dengan kekuatan fisiknya. 

"Kalau ada lowongan untuk kepala polisi, kurasa kau orang yang tepat untuk mengisinya," ujar Jefferson Hope, menatap Holmes dengan kekaguman yang tidak ditutup-tutupi. "Caramu mengikuti jejakku benar-benar hebat. Sangat hati-hati." 

"Sebaiknya kalian ikut denganku," kata Holmes kepada kedua detektif. 

"Aku bisa mengemudi," ujar Lestrade. 

"Bagus! Gregson bisa menemaniku di dalam kereta. Kau juga, Dokter. Kau berminat pada kasus ini, dan mungkin sebaiknya kau terus mengikutinya bersama kami." 

Dengan senang hati kuterima tawaran temanku, dan kami semua turun bersama-sama. Tawanan kami tidak berusaha melarikan diri, dengan tenang ia melangkah ke dalam keretanya dan kami mengikutinya. Lestrade naik ke tempat kusir, melecut kuda-kuda, dan membawa kami ke tujuan dalam waktu singkat. Di kantor polisi kami diantar ke sebuah ruangan kecil, dan seorang inspektur mencatat nama serta alamat pria yang kami kenai tuduhan pembunuhan tersebut. 

"Tersangka akan dihadapkan ke pengadilan dalam waktu seminggu," kata inspektur berwajah kaku yang menjalankan tugasnya bagaikan mesin itu. "Nah, Mr. Jefferson Hope, ada yang ingin Anda katakan? Harus saya peringatkan bahwa kata-kata Anda akan dicatat, dan mungkin digunakan untuk memberatkan tuduhan terhadap Anda." 

"Ada banyak yang ingin kukatakan," ujar Hope perlahan-lahan. "Aku ingin menceritakan semuanya kepada kalian." 

"Apa tidak lebih baik menunggu sidang?" tanya Inspektur. 

"Aku mungkin tidak akan pernah disidang," jawab Hope. "Kalian tidak perlu seterkejut itu. Aku tidak berpikir untuk bunuh diri. Kau seorang dokter?" Ia mengalihkan tatapannya yang tajam kepadaku saat mengajukan pertanyaan itu. 

"Ya, benar," jawabku. 

"Letakkan tanganmu di sini," katanya sambil tersenyum, memberi isyarat dengan tangan terborgol ke dadanya. 

Kupenuhi permintaannya, dan seketika menyadari detak serta keributan hebat yang berlangsung di dalamnya. Dinding-dinding dadanya bagai bergetar dan terguncang, sebagaimana bangunan rapuh yang di dalamnya terdapat mesin yang kuat. Dalam kesunyian ruangan aku bisa mendengar dengungan tertahan yang berasal dari sumber yang sama. 

"Astaga!" seruku. "Kau menderita aneurisme aorta!" 

"Itu istilah kedokterannya," kata Hope tenang. "Minggu lalu aku memeriksakan diri, dan dokter memberitahukan bahwa jantungku akan pecah dalam beberapa hari. Selama bertahun-tahun ini kondisinya semakin memburuk. Aku terkena penyakit ini karena terlalu lama berada di udara terbuka dan kekurangan makan saat berkeliaran di Pegunungan Salt Lake. Tapi aku sudah menyelesaikan pekerjaanku, dan aku tidak peduli seberapa cepat aku mati. Hanya, aku ingin orang-orang tahu apa yang telah kulakukan. Aku tidak ingin mereka mengingatku sebagai pembunuh biasa." 

Inspektur dan kedua detektif segera mendiskusikan kemungkinan untuk mengizinkan Hope menceritakan kisahnya. 

"Menurut Anda, Dokter, apa kondisi tersangka membahayakan?" tanya Inspektur. 

"Hampir pasti begitu," jawabku. 

"Kalau begitu, jelas sudah menjadi tugas kami untuk mendengarkan pernyataan tersangka, demi tegaknya keadilan," ujar Inspektur. "Sir, silakan menceritakan kisah Anda, yang sekali lagi saya peringatkan, akan dicatat." 

"Aku minta izin untuk duduk," kata Hope sambil menjatuhkan diri ke kursi. "Penyakit ini menyebabkan aku mudah lelah, apalagi setengah jam yang lalu kami baru bergumul mati-matian. Aku sudah mendekati liang kubur, untuk apa lagi aku membohongi kalian? Percayalah bahwa setiap kata yang kuucapkan merupakan kebenaran, dan bagaimana kalian menggunakan kesaksian ini, sama sekali bukan masalah bagiku." 

Jefferson Hope menyandar ke kursinya dan memulai ceritanya. Ia berbicara dengan tenang dan teratur, seakan-akan kejadian yang diceritakannya adalah hal yang umum terjadi. Lestrade mencatat setiap kata yang diucapkan Hope, dan aku mengutipnya untuk para pembaca. 

"Aku tak perlu menjelaskan panjang-lebar kenapa aku membenci kedua pria itu," ujar Hope. "Cukuplah kalau kalian mengetahui bahwa mereka bertanggung jawab atas kematian dua orang—ayah dan putrinya—dan bahwa mereka, oleh karena itu, sudah mengakhiri hidup mereka sendiri. Setelah sekian lama berlalu sejak kejahatan yang mereka lakukan, mustahil bagiku untuk mengalahkan mereka di pengadilan mana pun. Tapi aku tahu mereka bersalah, dan aku telah membulatkan tekad untuk menjadi hakim, juri, dan algojo sekaligus. Kalian pasti juga akan berbuat begitu, kalau ada keberanian dalam diri kalian, dan kalian menjadi diriku. 

"Gadis yang kubicarakan seharusnya menikah denganku dua puluh tahun yang lalu. Namun dia dipaksa untuk menikah dengan Drebber, dan mati merana karenanya. Aku melepaskan cincin kawin dari jarinya setelah dia meninggal, dan bersumpah cincin itu akan menjadi benda terakhir yang dilihat Drebber sebelum mati. Bajingan itu harus tahu untuk apa dia dihukum, dan dia harus mengingat kejahatannya saat mengembuskan napas terakhirnya. Kubawa cincin itu ke mana-mana, dan mengikuti Drebber serta rekannya di dua benua hingga berhasil menyusul mereka. Mereka mengira telah berhasil membuatku kelelahan dan menghentikan perburuanku, tapi mereka keliru sama sekali. Jika aku meninggal besok, dan besar kemungkinannya begitu, aku akan meninggal dengan tenang sebab tugasku di dunia sudah selesai. Kedua orang itu telah mati di tanganku. Tak ada lagi yang kuinginkan atau kuharapkan dalam hidup. 

"Mereka kaya sedang aku miskin, jadi bukan hal yang mudah bagiku untuk mengikuti mereka. Sewaktu tiba di London aku hampir tidak memiliki uang lagi, sehingga aku harus bekerja untuk menghidupi diriku. Mengemudikan kereta dan berkuda bagiku sama wajarnya seperti berjalan kaki, maka aku pun melamar ke kantor pemilik taksi dan segera mendapat pekerjaan. Aku harus menyetorkan sejumlah uang setiap minggu kepada pemilik kereta, dan sisa perolehanku tidak banyak, tapi aku mampu bertahan hidup. Tugas yang paling sulit adalah mempelajari jalan-jalan yang harus kulewati, karena dan semua labirin yang pernah diciptakan, menurutku kota ini yang paling membingungkan. Tapi aku selalu membawa peta, dan sesudah mengetahui lokasi hotel-hotel serta stasiun-stasiun utama, aku bisa bekerja dengan cukup baik. 

"Aku memerlukan beberapa waktu sebelum menemukan tempat tinggal kedua buruanku, tapi akhirnya aku mengetahui bahwa mereka tinggal di rumah kos di Camberwell. Begitu mendapatkan alamat itu, yakinlah aku bahwa mereka telah jatuh ke tanganku. Aku sudah memelihara janggut, dan tidak mungkin mereka bisa mengenaliku. Aku akan mengikuti mereka hingga mendapat kesempatan. Aku telah membulatkan tekad untuk tidak membiarkan mereka lolos lagi. 

"Ke mana pun mereka pergi di London, aku selalu mengikuti. Terkadang aku membuntuti mereka dengan kereta, di lain waktu dengan berjalan kaki. Naik kereta sebenarnya lebih baik, karena dengan begitu aku tak mungkin kehilangan jejak mereka. Aku hanya bisa menarik taksi pada pagi-pagi sekali atau larut malam, jadi aku mulai menunggak kepada majikanku. Tapi aku tidak memusingkan hal itu sebab yang terpenting bagiku adalah menghukum kedua penjahat itu. 

"Tapi mereka sangat cerdik. Mereka pasti sudah memperhitungkan kemungkinan akan diikuti, sehingga mereka tidak pernah keluar seorang diri, dan tidak pernah di malam hari. Selama dua minggu aku mengikuti mereka, tak sekali pun kulihat mereka berpisah. Drebber sendiri lebih sering mabuk daripada sadar, tapi Stangerson selalu waspada. Aku terus mengawasi mereka, namun belum juga mendapat kesempatan. Meskipun demikian, aku tidak patah semangat. Aku yakin waktunya hampir tiba. Satu-satunya ketakutanku adalah bahwa jantungku akan pecah sebelum tugasku selesai. 

"Akhirnya, suatu malam ketika aku tengah menyusuri Torquay Terrace, kulihat sebuah taksi berhenti di depan rumah kos mereka. Koper-koper dikeluarkan dan beberapa saat kemudian mereka muncul, lalu pergi dengan taksi itu. Aku cepat-cepat membuntuti, khawatir mereka akan berpindah tempat tinggal. Mereka ternyata turun di Stasiun Euston, dan kudengar mereka menanyakan kereta ke Liverpool. Petugasnya menjawab bahwa kereta itu sudah berangkat, dan kereta berikutnya baru akan berangkat beberapa jam lagi. Stangerson tampak kesal, sebaliknya Drebber justru kelihatan senang. Aku berada begitu dekat dengan mereka dalam keramaian sehingga bisa mendengar setiap kata yang mereka ucapkan. Drebber mengatakan, ada urusan yang harus diselesaikannya sendiri, dan ia meminta akan kembali. Stangerson menolak, dan mengingatkan bahwa mereka sudah berjanji untuk selalu bersama. Drebber menjawab bahwa urusannya sangat pribadi, dan ia harus pergi sendiri. Aku tidak bisa mendengar balasan Stangerson, tapi Drebber lalu meledak marah dan memaki-maki, mengingatkan Stangerson bahwa ia hanyalah pelayan bayaran dan tidak berhak mengatur dirinya. Mendengar itu sang sekretaris menyerah, ia bersedia menunggu di stasiun, dan seandainya mereka tertinggal kereta berikutnya, ia akan menunggu Drebber di Halliday's Private Hotel. Drebber menjawab bahwa ia akan ada di peron sebelum pukul sebelas, kemudian ia meninggalkan stasiun. 

"Saat yang telah lama kutunggu akhirnya tiba. Musuhku berada dalam kekuasaanku. Tapi aku tidak bertindak tergesa-gesa. Rencanaku telah tersusun. Tidak ada kepuasan dalam membalas dendam, jika sasaran kita tidak menyadari siapa yang membalas dendam padanya dan kenapa ia mendapat pembalasan. Kebetulan, beberapa hari sebelumnya orang yang bertugas mengawasi rumah-rumah kosong di Brixton Road menjatuhkan kunci salah satunya di keretaku. Kunci itu telah diminta kembali pada malam harinya, tapi aku sempat membuat duplikatnya. Dengan cara itu aku mendapat akses ke rumah kosong tersebut, tempat aku bisa menjalankan rencanaku dengan tenang. Masalahnya adalah bagaimana cara membawa Drebber ke rumah itu. 

"Nah, aku mengikuti Drebber yang berjalan kaki menyusuri jalan lalu masuk ke kedai minuman. Dari sana ia pergi ke kedai lain dan tinggal selama sekitar setengah jam. Sewaktu keluar, ia terhuyung-huyung dan jelas sangat mabuk. Ada sebuah kereta tepat di depanku, dan Drebber memanggilnya. Kuikuti kereta itu rapat-rapat; kami melaju melintasi Jembatan Waterloo dan jalan-jalan lain hingga tiba di rumah kos Drebber. Aku tidak bisa membayangkan apa maksud Drebber kembali ke sana, tapi aku tetap mengikutinya dan berhenti sekitar seratus meter dari rumah tersebut. Drebber masuk ke rumah, dan keretanya melaju pergi. Tolong ambilkan air. Mulutku rasanya kering berbicara terus-menerus." 

Kuulurkan gelasnya dan ia menenggak habis isinya. 

"Hm, sekarang lebih enak," katanya. "Aku menunggu sekitar seperempat jam, lalu tiba-tiba kudengar keributan seperti ada orang berkelahi di dalam rumah. Kemudian pintu terbuka dan dua pria muncul, salah satunya Drebber, sedangkan yang seorang lagi belum pernah kulihat. Pemuda ini mencengkeram kerah Drebber, dan sewaktu mereka tiba di tangga depan ia mendorong Drebber serta menendangnya, sehingga Drebber terhuyung-huyung ke seberang jalan. 'Anjing!' seru pemuda itu sambil mengacung-acungkan tongkat. 'Akan kuhajar kau karena menghina gadis baik-baik!' Ia begitu murka sehingga kukira Drebber akan dipukulnya dengan tongkat, tapi Drebber bergegas kabur. Ia berlari ke tikungan jalan dan melihat keretaku. 'Antar aku ke Halliday's Private Hotel,' katanya sambil melompat masuk. 

"Aku sangat gembira karena masalahku terpecahkan. Drebber sudah berada dalam keretaku! Kereta kujalankan perlahan-lahan, sambil aku mempertimbangkan tindakan terbaik yang bisa kulakukan. Apakah sebaiknya aku membawanya ke rumah kosong sebagaimana rencana semula, atau ke pedalaman dan melakukan pembicaraan terakhir kami di salah satu jalan yang sepi? Aku hampir saja melakukan yang terakhir, sewaktu Drebber tiba-tiba minta diantar ke kedai minum. Ia kembali bermabuk-mabukan hingga kedainya tutup. Sewaktu keluar, Drebber nyaris sudah tak berdaya sehingga yakinlah aku bahwa dia tak mungkin lepas dari tanganku. 

"Jangan membayangkan aku berniat membunuhnya dengan darah dingin, walau hal itu layak baginya. Aku telah lama memutuskan untuk memberinya kesempatan hidup, jika ia berani menerima tantanganku. Begini, di antara sekian banyak pekerjaan yang pernah kulakukan sewaktu berkelana di Amerika, salah satunya adalah menjadi tukang sapu laboratorium di York Gollege. Suatu hari dosennya mengajar tentang racun, dan ia menunjukkan sejumlah alkaloid - kepada para mahasiswa. Racun tersebut berasal dari tumbuh-tumbuhan di Amerika Selatan, dan begitu kuat sehingga sebutir yang paling kecil pun akan mendatangkan kematian seketika. Kuperhatikan di mana sang dosen menyimpan botolnya, dan sesudah mereka semua pergi, kuambil sedikit isinya. Aku cukup pandai mencampur bahan kimia, jadi kuolah alkaloid ini menjadi pil-pil kecil yang mudah larut. Setiap pil kusimpan dalam kotak bersama pil lain yang mirip tapi tidak beracun. Pada waktu itu aku mengambil keputusan bahwa jika saatnya tiba, aku akan memberi Drebber dan Stangerson kesempatan memilih. Mereka masing-masing boleh mengambil sebutir pil dari setiap kotak, sementara aku mengambil sisanya. Pil-pil itu cukup mematikan dan tidak seribut letusan pistol yang diredam saputangan. Setelah bertahun-tahun membawa pil-pil itu ke mana-mana, kini tiba saatnya mereka kugunakan. 

"Jam sudah mendekati pukul satu, dan hujan turun deras sekali. Sekalipun di luar keadaannya buruk, dalam hati aku merasa gembira—begitu gembira sehingga aku ingin berteriak-teriak. Kalau ada di antara kalian yang pernah menginginkan sesuatu, dan harus menunggu dua puluh tahun untuk mendapatkannya, kalian pasti mengerti perasaanku. Aku menyulut cerutu dan mengisapnya untuk menenangkan sarafku, tapi tanganku gemetar dan pelipisku berdenyut-denyut saking tegangnya. Saat keretaku melaju, aku bisa melihat John Ferrier tua dan Lucy yang manis mcmandangku dari kegelapan. Mereka tersenyum padaku... aku melihatnya dengan jelas seperti aku melihat kalian semua di ruangan ini. Sepanjang jalan mereka ada di depanku, masing-masing di kedua sisi kuda, hingga aku berhenti di depan rumah kosong di Brixton Road itu. 

"Tidak terlihat seorang pun, juga tidak terdengar suara apa pun kecuali tetesan hujan. Sewaktu menjenguk ke dalam kereta, kulihat Drebber sedang tidur meringkuk. Kuguncangkan lengannya, 'Sudah tiba,' kataku. 'Baik,' katanya. 

"Kurasa ia mengira kami sudah tiba di hotel yang tadi disebutkannya, karena ia turun tanpa mengatakan apa-apa, dan mengikutiku melintasi taman. Aku harus memapahnya karena ia mabuk berat. Sewaktu kami tiba di pintu rumah, kubuka pintunya dan kubimbing dia masuk ke ruang depan. Percayalah, sepanjang jalan, John Ferrier dan putrinya berjalan di depan kami. 

"'Gelap sekali,' kata Drebber sambil mengentakkan kaki. 

"'Sebentar lagi terang,' kataku, sambil menyulut korek dan menyalakan lilin yang kubawa. 'Nah, Enoch Drebber,' lanjutku, berpaling kepadanya dan mengacungkan lilin ke depan wajahku, 'siapa aku?' 

"la menatapku dengan mata berkaca-kaca karena mabuk, lalu kulihat kengerian memancar di sana. Wajahnya berkedut-kedut ketika ia mengenali diriku. Ia terhuyung-huyung mundur, keringat dingin mengalir di keningnya, gigi-giginya bergemeletukan. Melihat itu aku menyandar ke pintu dan tertawa terbahak-bahak. Sejak dulu aku tahu pembalasan akan manis rasanya, tapi aku tidak pernah mengharapkan kepuasan jiwa seperti yang menguasaiku pada saat itu. 

"'Kau anjing!' kataku. 'Aku memburumu dari Salt Lake City sampai ke St. Petersburg, dan kau selalu berhasil meloloskan diri. Sekarang akhirnya pelarianmu berakhir, karena salah satu dari kita—entah kau atau aku—besok tidak akan melihat matahari lagi,' Ia menyurut semakin jauh saat aku berbicara, ekspresinya menunjukkan bahwa ia menganggapku gila. Mungkin aku memang sudah gila. Denyut di pelipisku rasanya seperti hantaman palu godam, dan aku yakin akan terserang ayan kalau saja darah tidak menyembur keluar dari hidungku dan melegakan diriku. 

"'Sekarang apa pendapatmu tentang Lucy Ferrier?' seruku, mengunci pintu dan menggoyang-goyangkan anak kunci di depan wajahnya. 'Hukuman memang lambat datangnya, tapi akhirnya tetap saja kau menjalaninya.' Kulihat bibir pengecutnya gemetar saat aku berbicara. Ia pasti ingin mengemis-emis untuk diampuni, tapi ia tahu benar tindakan itu tidak ada gunanya. 

"'Kau akan... membunuhku?' tanyanya terbata-bata. 

"'Tidak akan ada pembunuhan!' jawabku. 'Siapa yang sudi membunuh anjing gila? Apakah kau berbelas kasihan kepada kekasihku yang malang, sewaktu kau menyeretnya dari ayahnya yang dibantai dan memaksanya menjadi anggota haremmu yang terkutuk?' 

"'Bukan aku yang membunuh ayahnya!' serunya. 

"'Tapi kau yang menghancurkan hatinya!' teriakku, sambil menyodorkan kotak pil ke hadapannya. 'Biar Tuhan yang menjadi hakim di antara kita. Pilih salah satu dan makanlah. Yang satu adalah kematian dan yang lain kehidupan. Akan kuambil apa yang tidak kaupilih. Kita lihat apakah memang ada keadilan di dunia ini, atau manusia hidup karena kebetulan belaka.' 

"Ia meringkuk sambil menjerit-jerit liar dan meminta-minta pengampunan, tapi kucabut pisauku dan kutempelkan di lehernya hingga ia mematuhi perintahku. Ia mengambil sebutir pil dan menelannya. Aku menelan pil yang lain, lalu kami berdiri berhadapan tanpa berkata-kata selama satu menit, menunggu siapa yang hidup dan siapa yang mati. Bagaimana aku bisa melupakan ekspresi wajahnya sewaktu tanda-tanda pertama memberitahunya bahwa ia telah keracunan? Aku tertawa sewaktu melihatnya, dan mengacungkan cincin kawin Lucy di depan matanya. Hanya sejenak, karena reaksi alkaloid sangat cepat. Ia mengernyit kesakitan, mengulurkan tangannya, terhuyung-huyung, lalu jatuh berdebum ke lantai. Aku membaliknya dengan kakiku dan menempelkan tanganku di dadanya. Tidak ada gerakan. Ia sudah tewas! 

"Darah terus mengalir dari hidungku, tapi aku tidak memedulikannya. Entah mengapa, aku lalu terpikir untuk menulis di dinding dengan darahku. Mungkin aku hanya iseng; aku ingin bermain-main dengan polisi karena perasaanku sedang sangat gembira. Aku teringat kejadian di New York, ketika mayat seorang Jerman ditemukan dengan kata RACHE ditulis di atasnya. Saat itu koran-koran ramai berdebat bahwa pembunuhan ini pasti melibatkan organisasi rahasia. Kurasa apa yang membingungkan orang New York pasti juga membingungkan orang London, jadi kucelupkan jariku ke dalam darahku sendiri dan menuliskan kata RACHE di dinding. Lalu aku menuju keretaku dan pergi dari situ. Aku telah melaju beberapa lama sewaktu kumasukkan tangan ke saku, tempat aku biasa menyimpan cincin Lucy, dan mendapati cincin itu tidak ada. Mengira aku sudah menjatuhkannya sewaktu membungkuk di atas mayat Drebber, aku berputar balik, dan meninggalkan keretaku di jalan samping. Kuberanikan diri untuk kembali ke rumah itu... karena aku lebih baik menghadapi apa pun daripada kehilangan cincin Lucy. Sewaktu tiba di taman, aku bertemu dengan seorang polisi yang baru datang dari rumah itu, namun aku berhasil menghapus kecurigaannya dengan berpura-pura mabuk. 

"Begitulah bagaimana Enoch Drebber menemui ajalnya. Kini aku tinggal melakukan hal yang sama terhadap Stangerson, agar utang nyawanya kepada John Ferrier terbayar. Aku sudah tahu bahwa Stangerson menginap di Halliday's Private Hotel, maka aku berkeliaran di dekat tempat itu sepanjang hari. Tapi Stangerson tidak keluar-keluar. Rupanya ia menduga telah terjadi sesuatu sewaktu Drebber tidak muncul. Si Stangerson itu cerdik dan selalu waspada, tapi kalau ia mengira bisa menghindariku dengan tetap berada di dalam, ia keliru. Tak lama kemudian aku sudah mengetahui jendela kamar tidurnya, dan pagi-pagi keesokan harinya aku memasuki kamar itu dengan bantuan tangga yang tergeletak di jalan di belakang hotel. Aku membangunkan Stangerson dan memberirahunya bahwa sudah tiba saatnya ia mempertanggungjawabkan nyawa yang dicabutnya dulu. Kujelaskan kematian Drebber kepadanya, dan kuberikan pilihan yang sama dengan pil-pil beracun itu. Bukannya mengambil kesempatan yang kutawarkan, ia justru melompat dari ranjang dan berusaha mencekik leherku. Untuk mempertahankan diri kutusuk dia di janrungnya. Pada akhirnya sama saja, karena Yang Mahakuasa tidak akan membiarkan tangannya yang bersalah untuk mengambil pil yang tidak beracun. 

"Masih ada sedikit lagi yang harus kukatakan, dan sebaiknya kuungkapkan sekarang, karena kurasa aku sudah sekarat. Aku terus melakukan pekerjaanku sebagai kusir kereta selama satu-dua hari, dengan harapan aku bisa mengumpulkan uang cukup banyak untuk biaya perjalanan ke Amerika. Aku sedang berdiri di halaman sewaktu seorang bocah lusuh mcnanyakan apakah ada kusir yang bernama Jefferson Hope, katanya ia dipanggil seseorang di Baker Street 221B. Aku berangkat tanpa merasa curiga, dan tahu-tahu, tuan muda ini memborgol tanganku. Begitulah seluruh kisahku, Tuan-tuan. Kalian boleh menganggapku sebagai pembunuh, tapi aku tetap yakin bahwa diriku hanyalah penegak keadilan, sama seperti kalian." 

Begitu menegangkan kisah pria tersebut, dan sikapnya begitu mengesankan, sehingga kami semua terdiam mengikuri penururannya. Bahkan para detektif profesional yang sudah biasa menghadapi berbagai kasus kejahatan, tampak sangat tertarik dengan cerita pria ini. Sesudah ia selesai, kami masih membisu selama beberapa menit. Kesunyian hanya dipecahkan oleh goresan pensil Lestrade yang menyelesaikan catatannya. 

"Hanya ada satu hal yang ingin kutanyakan," kata Holmes pada akhirnya. "Siapa temanmu yang datang mengambil cincin yang kuiklankan?" 

Jefferson Hope mengedipkan mata ke arah temanku dengan jenaka. "Aku bisa menceritakan rahasiaku sendiri, rapi aku tidak mau menyulitkan orang lain. Aku melihat iklanmu, dan kupikir ini mungkin jebakan, atau mungkin saja memang cincin yang kuinginkan. Temanku mengajukan diri untuk memeriksanya. Kau harus mengakui bahwa dia melakukannya dengan sangat cerdik." 

"Memang," aku Holmes jujur. 

"Nah, Tuan-tuan," kata Inspektur dengan serius, "peraruran harus diparuhi. Pada hari Kamis tersangka akan disidangkan, dan kehadiran kalian diperlukan. Sampai saat itu, saya yang bertanggung jawab atas dirinya." Ia membunyikan bel sambil berbicara, dan Jefferson Hope dibawa pergi oleh dua orang sipir. Aku dan Holmes pun keluar dari kantor polisi, lalu naik taksi ke Baker Street.

Sumber:link

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger Banua

Blogger Banua