Label:

Bab 6 - Sherlock Holmes Mendemonstrasikan

0 komentar

Bab 6 - Sherlock Holmes Mendemonstrasikan

"Sekarang, Watson," kata Holmes, sambil menggosok-gosok tangannya, "kita punya waktu setengah jam, tanpa terganggu. Ayo kita gunakan sebaik-baiknya. Kasusku, sebagaimana sudah kukatakan padamu, sudah hampir selesai. Tapi jangan sampai kita melakukan kesalahan dengan bersikap terlalu percaya diri. Sekalipun kasus ini sekarang tampak sederhana, mungkin ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya."

"Sederhana!" semburku. 

"Jelas," kata Holmes dengan sikap seorang profesor klinis yang tengah mengajar di kelasnya. "Duduk saja di sudut sana, agar jejak kakimu tidak menambah kerumitan masalah. Sekarang saatnya bekerja! Pertama-tama, bagaimana orang-orang ini datang dan bagaimana mereka pergi? Pintu tidak dibuka sejak semalam. Bagaimana dengan jendela?" Ia membawa lentera ke sana, menggumamkan pengamatannya keras-keras sepanjang waktu, tapi lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada kepadaku. "Jendelanya diselot dari sebelah dalam. Kerangkanya kokoh. Tidak ada engsel di tepi-tepinya. Coba kita buka. Tidak ada pipa air di dekatnya. Atap cukup jauh dari jangkauan. Tapi ada yang memanjat melalui jendela. Semalam hujan turun sedikit. Ini ada jejak kaki yang mengeras di kusennya. Dan di sini ada jejak berlumpur berbentuk lingkaran, dan di lantai ini juga ada, dan di sini dekat meja. Lihat di sini, Watson! Ini benar-benar demonstrasi yang bagus." 

Aku memandang lingkaran berlumpur yang bulat dan sempurna tersebut. 

"Itu bukan jejak kaki," kataku. 

"Ini jauh lebih berharga bagi kita. Ini jejak kaki palsu dari kayu. Kaulihat di kusen ada jejak sepatu bot, sepatu bot berat dengan tumit berlapis logam yang lebar, dan di sampingnya ada jejak kaki kayu." 

"Itu pria berkaki kayu." 

"Benar. Tapi juga ada orang lain lagi—sekutu yang sangat kompeten dan efisien. Kau bisa memanjat dinding itu, Dokter?" 

Aku memandang ke luar jendela yang terbuka. Bulan masih bersinar dengan terangnya pada sudut rumah seperti semula. Kami berada sekitar 18 meter dari tanah, dan ke mana pun aku memandang, tidak ada pijakan, tidak ada apa pun kecuali celah-celah kecil di sela-sela batanya. 

"Jelas mustahil," kataku. 

"Tanpa bantuan memang mustahil. Tapi seandainya ada temanmu di atas sini yang menurunkan tali kaku yang kokoh-—yang kutemukan di sudut—dan mengikatkan salah satu ujungnya ke kaitan di dinding ini... Lalu, kupikir, kalau kau orang yang aktif, kau mungkin bisa merayap naik, sekalipun berkaki kayu. Tentu saja kau akan pergi dengan cara yang sama, dan sekutumu akan menarik talinya, melepaskan ikatannya dari kaitan, menutup jendela, menyelotnya dari dalam, dan melarikan diri melalui jalan masuknya. Satu hal kecil, patut dicatat," lanjutnya, sambil mengelus-elus talinya, "teman berkaki kayu kita, sekalipun seorang pendaki yang cukup andal, bukanlah seorang kelasi profesional. Tangannya tidak kapalan seperti kelasi. Kaca pembesarku menemukan lebih dari satu bercak darah, terutama mendekati ujung tali. Kurasa dia meluncur dengan kecepatan begitu rupa, sehingga kulit tangannya terkelupas." 

"Bagus sekali," kataku, "tapi situasinya jadi lebih sulit dijelaskan. Bagaimana dengan sekutu misterius ini? Bagaimana caranya masuk kemari?" 

"Ya, sekutunya!" ulang Holmes. "Ada beberapa hal menarik mengenai sekutu ini. Karena keberadaannya, kasus ini tidak lagi menjadi sebuah kasus biasa. Kurasa sekutu ini sudah membuka jalan baru dalam melakukan kejahatan di negara ini—sekalipun kasus-kasus yang paralel menunjukkan bahwa asalnya dari India dan, kalau ingatanku masih baik, dari Senegambia." 

"Kalau begitu, bagaimana caranya?" tanyaku. "Pintunya terkunci, jendelanya tidak bisa dimasuki. Apa melalui cerobong?" 

"Kisi-kisinya terlalu kecil," jawab Holmes. "Aku sudah mempertimbangkan kemungkinan itu." 

"Kalau begitu, bagaimana?" tanyaku. 

"Kau masih belum mengerti juga," kata Holmes sambil menggeleng. "Sudah berapa kali kukatakan bahwa kalau kausingkirkan semua yang mustahil, apa pun yang tersisa, betapapun mustahilnya, adalah kebenaran? Kita tahu dia tidak masuk melalui pintu, jendela, atau cerobong. Kita juga tahu, dia tak mungkin bersembunyi dalam ruangan ini, karena tidak ada tempat persembunyian di sini. Kalau begitu, dari mana dia datang?" 

"Dia datang melalui lubang di atap!" seruku. 

"Benar. Dia pasti masuk melalui lubang itu. Kalau kau bersedia memegangkan lampunya, kita akan memperluas penyelidikan kita ke ruang di atas—ruang rahasia tempat harta itu ditemukan." 

Ia menaiki tangga, dan setelah meraih sebatang balok penopang, ia mengayunkan diri ke atas. Lalu, sambil menelungkup, ia mengulurkan tangan mengambil lampu dan memeganginya sementara aku mengikuti langkahnya. 

Ruangan tempat kami berada luasnya kurang-lebih tiga meter kali dua meter. Lantainya terbentuk dari deretan balok penopang, dengan selapis tipis gipsum dan semen di sela-selanya, sehingga untuk berjalan orang harus melangkah dari balok yang satu ke balok yang lain. Atap tersebut miring, dan jelas merupakan bagian dalam dari atap rumah yang sebenarnya. Tidak ada perabotan apa pun di sana, dan debu yang bertahun-tahun menumpuk di sana tampak tebal di lantai. 

"Ini dia, kaulihat," kata Sherlock Holmes, sambil memegang dinding yang miring. "Ini pintu kecil yang menuju atap. Aku bisa mendorongnya, dan ini atapnya, dengan kemiringan yang landai. Kalau begitu, melalui tempat inilah si Nomor Satu masuk. Coba lihat apakah kita bisa menemukan jejak-jejak kepribadiannya yang lain." 

Ia mengacungkan lentera ke dekat lantai, dan untuk kedua kalinya malam itu, aku melihat ekspresi terkejut di wajahnya. Aku sendiri, saat mengikuti tatapannya, kulitku terasa dingin di balik pakaianku. Lantai dipenuhi jejak-jejak kaki telanjang, jelas, dengan bentuk sempurna, tapi kurang dari separuh jejak pria biasa. 

"Holmes," bisikku, "anak kecil yang melakukannya." 

Holmes telah pulih dalam sekejap. 

"Aku terkejut sesaat," katanya, "tapi situasinya cukup normal. Ingatanku sudah mengecewakanku, atau seharusnya aku mampu menebaknya. Tidak ada yang bisa dipelajari lagi di sini. Ayo turun." 

"Kalau begitu, apa teorimu mengenai jejak-jejak kaki itu?" tanyaku dengan penuh semangat sewaktu kami telah tiba di ruang bawah sekali lagi. 

"Watson-ku yang baik, cobalah menganalisisnya sendiri," katanya dengan nada agak tak sabar. "Kau mengetahui metode-metodeku. Coba terapkan, dan pasti sangat bermanfaat untuk membandingkan hasilnya." 

"Aku tidak bisa menarik kesimpulan apa pun yang mencakup semua faktanya," jawabku. 

"Tak lama lagi kau akan memahaminya dengan jelas," katanya. "Kupikir tidak ada lagi yang penting di sini, tapi aku akan tetap mencari." 

Ia mengeluarkan kaca pembesar dan pita pengukur, dan bergegas mengelilingi ruangan sambil berlutut, mengukur, membandingkan, memeriksa, dengan hidungnya yang kurus mancung hanya beberapa inci dari lantai, sementara matanya yang bulat berkilau-kilau dan cekung bagai mata burung. Begitu sigap, tanpa suara, dan lincah gerakannya, bagai seekor anjing pelacak terlatih yang mengendus bau, sehingga aku mau tak mau memikirkan bahwa ia akan menjadi penjahat yang luar biasa menakutkan kalau seandainya ia mengalihkan energi dan keberaniannya untuk melawan hukum, bukan menegakkannya. Sambil melacak, ia terus-menerus bergumam sendiri, dan akhirnya ia berseru keras dengan gembira. 

"Kita jelas beruntung," katanya. "Sekarang seharusnya tidak hanyak masalah lagi. Nomor Satu sudah sial karena menginjak creosote. Kau bisa melihat bentuk kakinya di samping tumpukan berbau tajam ini. Tempatnya sudah retak, kaulihat, dan benda ini sudah bocor keluar." 

"Lalu kenapa?" tanyaku. 

"Kita berhasil mendapatkannya, itu saja," kata Holmes. "Ada anjing yang bisa mengikuti bau itu hingga ke ujung dunia. Kalau anjing geladak bisa melacak bau ikan melintasi negara, berapa jauh seekor anjing pelacak terlatih bisa mengikuti bau setajam ini? Kedengarannya sudah pasti. Jawabannya akan memberi kita—Halo! Pihak berwenang sudah datang." 

Langkah-langkah berat dan keributan orang berbicara keras-keras terdengar dari lantai bawah, dan pintu ruang depan tertutup diiringi debuman keras. 

"Sebelum mereka tiba di sini," kata Holmes, "coba pegang lengan orang malang ini, juga kakinya. Apa yang kaurasakan?" 

"Otot-ototnya sekeras papan," jawabku. "Benar. Otot-ototnya menegang sangat kencang, jauh melebihi kekakuan mayat biasa. Dikombinasikan dengan kernyitan wajahnya, senyum Hippokcrates ini, atau 'risus sardonicus,' sebagaimana istilah penulis-penulis lama, kesimpulan apa yang melintas dalam benakmu?" 

"Kematian akibat alkaloid sayuran yang sangat kuat," jawabku, "bahan berbasis mirip strychnine yang mengakibatkan tetanus." 

"Itu yang melintas dalam benakku begitu melihat otot-otot wajah yang tertarik. Begitu memasuki ruangan, aku segera mencari alat yang sudah memasukkan racun itu ke dalam sistemnya. Sebagaimana sudah kaulihat, aku menemukan duri yang entah ditusukkan atau ditembakkan tanpa kekuatan besar ke kulit kepala. Kaulihat bahwa bagian yang terkena mengarah ke lubang di langit-langit apabila orang ini berdiri tegak di kursinya. Sekarang periksa durinya." 

Aku mengambilnya dengan hati-hati dan mengacungkannya ke dekat lentera. Duri tersebut panjang, tajam, dan kehitaman, dengan bagian ujung mengilat, seakan ada cairan yang telah mengering di sana. Ujungnya yang tumpul telah dihaluskan dan dibulatkan dengan sebilah pisau. 

"Apa itu duri dari Inggris?" tanya Holmes. "Jelas bukan." 

"Dengan semua data ini, seharusnya kau mampu menarik kesimpulan yang layak. Tapi sekarang penegak hukum sudah datang." 

Sementara ia berbicara, suara langkah-langkah terdengar semakin keras di lorong, dan seorang pria pendek kekar bersetelan kelabu berderap memasuki ruangan. Wajahnya kemerahan, kasar, dengan sepasang mata sangat kecil yang berkilau-kilau di antara kantong-kantong mata yang membengkak. Ia segera diikuti seorang inspektur berseragam dan Thaddeus Sholto yang masih gemetaran. 

"Ini dia!" seru pria bersetelan tersebut. "ini urusan yang sangat bagus! Tapi siapa semua ini? Kenapa rumah ini seperti sudah berubah menjadi liang kelinci?" 

"Kurasa Anda mengenaliku, Mr. Athelney Jones," kata Holmes pelan. 

"Wah, tentu saja!" katanya. "Mr. Sherlock Holmes, si teoretis. Aku ingat Anda! Aku tak pernah lupa bagaimana Anda menguliahi kami semua mengenai sebab dan kesimpulan dan akibat dalam kasus perhiasan Bishopgate. Memang Anda berhasil mengembalikan kami ke jejak yang benar, tapi keberhasilan Anda lebih dikarenakan keberuntungan daripada keandalan." 

"Semuanya hanya masalah logika yang sangat sederhana." 

"Oh, yang benar saja! Tak perlu malu-malu. Tapi ada apa ini? Urusan yang buruk! Urusan yang buruk! Semuanya fakta di sini—tidak ada tempat untuk teori. Beruntung sekali aku sedang berada di Norwood, menangani kasus lain! Aku sedang di kantor sewaktu pesan itu tiba. Menurut Anda, apa penyebab kematian orang ini?" 

"Oh, kasus ini sulit untuk diteorikan," kata Holmes datar. 

"Tidak, tidak. Sekalipun begitu, kami tak bisa mengingkari bahwa Anda terkadang berhasil. Wah, wah! Pintu terkunci, kalau tak salah. Perhiasan senilai setengah juta hilang. Bagaimana jendelanya?" 

"Terkunci, tapi ada jejak-jejak di kusennya." 

"Well, well, kalau jendelanya dikunci, jejaknya pasti tidak ada hubungannya dengan masalah ini. Itu logika biasa. Orang ini mungkin tewas karena serangan ayan, tapi perhiasannya hilang. Ha! Aku punya teori. Gagasan-gagasan seperti ini terkadang melintas dalam benakku—Silakan keluar dulu, Sersan, dan kau juga, Mr. Sholto. Temanmu bisa tetap di sini—Apa pendapat Anda, Holmes? Sholto, sesuai pengakuannya sendiri, bersama dengan saudaranya semalam. Saudaranya tewas karena serangan ayan, dan Sholto membawa pergi hartanya? Bagaimana?" 

"Maksud Anda, sesudah itu almarhum bangkit berdiri untuk mengunci pintu dari dalam." 

"Hmmm! Itu kelemahannya. Coba kita terapkan logika dalam masalah ini. Thaddeus Sholto ini ada bersama saudaranya, terjadi pertengkaran, itu yang kami ketahui. Saudaranya tewas dan perhiasannya hilang. Kami juga mengetahui hal itu. Tak seorang pun melihat saudaranya sejak Thaddeus meninggalkannya. Dia tidak tidur di ranjangnya semalam. Thaddeus jelas sedang kacau pikirannya. Penampilannya, well, tidak menarik. Anda lihat aku mulai merajut jaring-jaringku di sekitar Thaddeus. Jeratnya mulai merapat pada dirinya."

"Anda belum mengetahui fakta-faktanya," kata Holmes. "Potongan kayu ini, yang aku yakin beracun, menancap di kulit kepala orang ini, dan bekasnya bisa terlihat. Kertas ini, ditulisi sebagaimana Anda lihat, ada di meja, dan di sampingnya tergeletak alat berkepala batu yang aneh ini. Bagaimana penyesuaian semua ini dengan teori Anda?" 

"Mengkonfirmasinya dalam segala hal," kata detektif gendut tersebut dengan sikap sok. "Rumah ini penuh dengan barang-barang aneh dari India. Thaddeus yang meletakkannya di situ, dan kalau potongan kayu ini beracun, Thaddeus mungkin sudah menggunakannya untuk membunuh. Kertas itu hanya sulapan—pengalih perhatian. Satu-satunya pertanyaan adalah, bagaimana dia meninggalkan tempat ini? Ah, tentu saja, lubang di atap." 

Dengan lincah, mengingat tubuhnya yang besar, ia menaiki tangga dan menerobos ke atas, dan tak lama kemudian kami mendengarnya berseru bahwa ia telah menemukan pintu. 

"Pintar juga dia," komentar Holmes sambil angkat bahu. "Terkadang akalnya jalan juga. Il n'y a pas des sots si incommodes que ceux qui ont de l'esprit!—Tidak ada orang bodoh yang lebih menyulitkan daripada yang punya sedikit akal!" 

"Anda lihat!" seru Athelney Jones, muncul kembali menuruni tangga. "Bagaimanapun, fakta lebih baik daripada teori. Pendapatku mengenai kasus ini sudah terkonfirmasi. Ada pintu kecil yang menuju atap, dan agak terbuka." 

"Aku yang membukanya." 

"Oh, sungguh! Anda mengetahuinya kalau begitu?" Jones tampak kecewa mendengarnya. "Well, siapa pun yang menemukannya, pintu itu jelas merupakan jalan keluar orang yang kita cari. Inspektur!" 

"Ya, Sir," jawab yang dipanggil dari lorong. 

"Suruh Mr. Sholto masuk kemari—Mr. Sholto, sudah tugasku untuk memberitahumu bahwa apa pun yang akan kaukatakan mungkin digunakan untuk memberatkan posisimu. Kau kutangkap atas nama Ratu, dengan tuduhan membunuh saudaramu." 

"Nah, lihat! Sudah kukatakan, bukan!" seru pria malang tersebut, sambil melontarkan tangan dan memandang kami bergantian. 

"Jangan khawatir, Mr. Sholto," kata Holmes. "Kurasa aku bisa membebaskan Anda dari tuduhan itu." 

"Jangan berjanji terlalu berlebihan, Mr. Teoretis, jangan berjanji terlalu berlebihan!" sergah Detektif Jones. "Anda mungkin akan mendapati masalah ini lebih sulit dari dugaan Anda." 

"Bukan saja aku akan membebaskan dia, Mr. Jones, tapi aku juga akan memberikan hadiah gratis berupa nama dan deskripsi salah satu dari kedua orang yang berada di ruangan ini semalam. Namanya, aku yakin, adalah Jonathan Small. Dia seorang pria berpendidikan rendah, kecil, aktif, dengan kaki kanan sudah putus dan mengenakan tunggul kayu yang telah aus sisi dalamnya. Sepatu bot kirinya bersol kasar dan bergigi persegi, dengan pelat besi di bagian tumitnya. Dia sudah setengah baya, dengan kulit kecokelatan terbakar matahari, dan mantan narapidana. Beberapa indikasi ini mungkin bisa membantu Anda, ditambah fakta bahwa sebagian besar kulit telapak tangannya terkelupas. Orang yang satu lagi..." 

"Ah! Orang yang satu lagi?" tanya Athelney Jones dengan nada mencibir, tapi tetap saja terkesan oleh keyakinan Holmes, sebagaimana bisa kulihat dengan mudah. 

"Orang yang satu lagi menarik," kata Sherlock Holmes, sambil berputar pada tumitnya. "Kuharap tak lama lagi aku bisa memperkenalkan mereka berdua pada Anda. Bisa kita bicara, Watson?" 

Ia mengajakku ke puncak tangga. 

"Kejadian yang tidak terduga ini," katanya, "telah menyebabkan kita agak melupakan tujuan awal kita kemari." 

"Aku baru saja berpikir begitu," kataku, "tidak baik kalau Miss Morstan tetap berada di rumah ini." 

"Benar. Kau harus mengantarnya pulang. Dia tinggal bersama Mrs. Cecil Forrester di Lower Camberwell, tidak jauh dari sini. Akan kutunggu kau di sini, kalau kau bersedia, atau mungkin kau sudah terlalu lelah?" 

"Sama sekali tidak. Kurasa aku tidak akan bisa beristirahat sampai mengetahui lebih banyak mengenai urusan yang fantastis ini. Aku pernah melihat sisi keras kehidupan, tapi kejutan-kejutan aneh malam ini sudah mengguncang sarafku sepenuhnya. Tapi aku ingin membongkar kasus ini bersamamu, berhubung aku sudah terlibat sejauh ini." 

"Kehadiranmu akan sangat membantuku," jawab Holmes. "Kita harus menangani sendiri kasus ini dan membiarkan si Jones ini membangga-banggakan khayalan apa pun yang ingin diciptakannya. Sesudah mengantar Miss Morstan, kuminta kau pergi ke Pinchin Lane No. 3, di dekat batas air di Lambeth. Rumah ketiga di sebelah kanan merupakan rumah pembuat burung-isian, namanya Sherman. Kau bisa melihat seekor musang yang menggigit kelinci di jendelanya. Bangunkan Sherman dan katakan, dengan salam dariku, bahwa aku membutuhkan Toby sekarang juga. Bawa Toby kemari." 

"Kurasa Toby itu seekor anjing?" 

"Ya, seekor anjing kampung yang aneh, dengan daya penciuman paling mengagumkan. Aku lebih suka mendapat bantuan Toby daripada seluruh satuan detektif di London." 

"Kalau begitu, akan kuambilkan," kataku. "Sekarang sudah pukul satu. Kurasa aku bisa kembali sebelum pukul tiga, kalau bisa mendapatkan kuda yang masih segar." 

"Dan aku," kata Holmes, "akan mencari tahu apa yang bisa kupelajari dari Mrs. Bernstone dan dari pelayan India, yang, kata Mr. Thaddeus kepadaku, tidur di bangunan sebelah. Sesudah itu aku akan mempelajari metode Jones yang agung dan mendengarkan kesinisannya yang tidak terlalu halus. Wir sind gewohnt dass die Menscben verhöhnen was sie nicht verstehen.—Kita sudah biasa melihat Manusia memandang rendah apa yang tidak bisa dipahaminya. Goethe memang lugas."

sumber:link

Label:

Bab 5 - Tragedi Pondicherry Lodge

0 komentar

Bab 5 - Tragedi Pondicherry Lodge


Hampir pukul sebelas malam sewaktu kami tiba di tahap terakhir petualangan malam kami. Kami telah meninggalkan kota besar berkabut di belakang, dan malam cukup cerah. Angin hangat bertiup dari barat, dan awan tebal berarak perlahan-lahan di langit, dengan bulan yang hanya separuh mengintip dari celah-celahnya. Cuaca cukup cerah untuk bisa melihat kejauhan, tapi Thaddeus Sholto menurunkan salah satu lampu samping kereta untuk menerangi jalan kami dengan lebih baik.

Pondicherry Lodge berdiri di lahannya sendiri, dikelilingi dinding batu yang sangat tinggi, dengan kepingan kaca menutupi bagian atasnya. Sebuah pintu besi sempit merupakan satu-satunya jalan masuk. Pemandu kami mengetuknya dengan irama aneh, mirip petugas pos. 

"Siapa itu?" seru seseorang bersuara serak dan dalam. 

"Ini aku, McMurdo. Kau seharusnya sudah mengenali ketukanku sekarang." 

Terdengar gerutuan dan denting kunci beradu. Pintu terayun membuka, dan seorang pria pendek berdada bidang berdiri di sana, dengan cahaya kekuningan dari lentera menerangi wajahnya yang menonjol dan matanya yang berkilau-kilau memancarkan ketidakpercayaan.

"Andakah itu, Mr. Thaddeus? Tapi siapa yang lainnya? Aku tidak mendapat perintah apa pun mengenai mereka dari majikan." 

"Tidak, McMurdo? Masa! Semalam aku sudah memberitahu saudaraku bahwa aku akan membawa beberapa orang teman." 

"Dia tidak keluar dari kamarnya hari ini, Mr. Thaddeus, dan aku tidak mendapat perintah apa-apa. Anda tahu aku harus menaati peraturan. Aku bisa mengizinkan Anda masuk, tapi teman-teman Anda tidak." 

Ini halangan yang tidak terduga. Thaddeus Sholto tampak kebingungan dan tak berdaya. 

"Sayang sekali, McMurdo!" katanya. "Kalau aku yang menjamin mereka, seharusnya itu sudah cukup. Salah satu temanku seorang wanita muda. Dia tak bisa menunggu di jalan umum pada jam-jam begini." 

"Maafkan aku, Mr. Thaddeus," kata portir tersebut dengan keras kepala. "Mereka mungkin teman-teman Anda, tapi bukan teman majikan. Dia membayarku dengan baik untuk melakukan tugasku, dan aku akan melakukan tugasku. Aku tidak mengenal teman-teman Anda." 

"Oh, kau pasti kenal, McMurdo," setu Sherlock Holmes dengan riang. "Kurasa kau tidak mungkin melupakan aku. Apa kau tidak ingat amatir yang melawanmu tiga ronde di Alison's empat tahun yang lalu?" 

"Astaga! Mr. Sherlock Holmes!" seru petinju bayaran tersebut. "Demi Tuhan! Bagaimana mungkin aku bisa tidak mengenali Anda? Mestinya Anda tidak berdiri diam di situ. Kalau Anda melontarkan pukulan silang ke rahangku, aku pasti sudah mengenali Anda sejak tadi. Ah, Anda sudah menyia-nyiakan bakat Anda, sungguh! Anda mungkin bisa mencapai ketenaran, kalau bergabung dengan yang lain." 

"Kaulihat, Watson, kalau yang lain-lainnya sudah tidak bisa kulakukan, masih ada profesi ilmiah yang terbuka untukku," kata Holmes sambil tertawa. "Sekarang teman kita ini tentunya tidak akan membiarkan kita kedinginan di luar." 

"Masuklah, Sir, masuklah—Anda dan teman-teman Anda," jawab McMurdo. "Maaf, Mr. Thaddeus, tapi perintahnya sangat ketat. Aku harus memastikan dulu teman-teman Anda sebelum mengizinkan mereka masuk." 

Di dalam ada jalan setapak kerikil berliku-liku, di lahan kering kerontang yang menuju sebuah rumah berbentuk persegi dan rumit, yang semuanya tertutup bayang-bayang, kecuali satu sudutnya yang diterangi cahaya bulan—yang memantul dari salah satu jendelanya. Besarnya bangunan tersebut, dengan kemuraman dan kesunyiannya yang mencekam, menimbulkan kengerian. Bahkan Thaddeus Sholto tampak merasa tidak nyaman, lentaranya bergetar dan bergoyang-goyang di tangannya. 

"Aku tidak mengerti," katanya. "Pasti ada kesalahan. Aku jelas sudah memberitahu Bartholomew bahwa kita akan datang, tapi tidak ada cahaya di jendelanya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi." 

"Apa dia selalu menjaga rumahnya seperti itu?" tanya Holmes. 

"Ya, dia mengikuti kebiasaan Ayah. Dia putra kesayangan Ayah, dan terkadang kupikir Ayah lebih banyak memberitahu dia daripada aku. Itu jendela Bartholomew yang terkena cahaya bulan itu. Cukup terang, tapi kupikir tidak ada cahaya dari dalam." 

"Tidak," kata Holmes. "Tapi aku melihat sedikit cahaya di jendela kecil di samping pintu." 

"Ah, itu kamar pengurus rumah. Itu tempat tinggal Mrs. Bernstone tua. Dia bisa memberitahu kita apa yang terjadi. Tapi mungkin kalian tidak keberatan menunggu di sini satu atau dua menit. Kalau kita masuk bersama-sama, dan dia tidak mengetahui tentang kedatangan kita, dia mungkin akan terkejut. Tapi, ssst! Apa itu?" 

Ia mengangkat lenteranya, tangannya gemetar hingga lingkaran cahaya di sekeliling kami bergoyang-goyang. Miss Morstan meraih pergelanganku, dan kami semua berdiri dengan jantung berdebar-debar, berusaha keras untuk mendengarkan. Dari bagian belakang rumah besar tersebut terdengar lolongan paling menyedihkan, menembus kesunyian malam—rintihan melengking dan terpatah-patah seorang wanita yang ketakutan. 

"Itu Mrs. Bernstone," kata Sholto. "Dia satu-satunya wanita di rumah ini. Tunggu di sini. Aku akan segera kembali." 

Ia bergegas ke pintu dan mengetuknya dengan cara yang tidak biasa. Kami bisa melihat seorang wanita tua yang jangkung membukakan pintu baginya dan bergoyang-goyang senang melihat kehadiran Thaddeus. 

"Oh, Mr. Thaddeus, Sir, aku senang sekali Anda datang! Aku senang Anda datang, Mr. Thaddeus, Sir!" 

Kami mendengar pujian tersebut berulang-ulang, hingga pintunya tertutup dan suara wanita tersebut teredam. 

Pemandu kami meninggalkan lenteranya pada kami. Holmes mengayunkannya perlahan-lahan dan memandang tajam ke rumah dan tumpukan tanah besar yang menghiasi lahan tersebut. Miss Morstan dan aku berdiri bersama-sama, berpegangan tangan. Cinta memang tak dapat diselami. Kami berdua belum pernah bertemu sebelum hari itu, belum pernah terlintas percakapan maupun bertukar pandang penuh perasaan terhadap yang lain, namun saat menghadapi masalah, tangan kami secara naluriah saling mencari. Aku terus-menerus memikirkannya sejak itu, tapi pada saat itu rasanya sangat wajar bila aku mendekatinya, dan, sebagaimana sering dikatakannya padaku, nalurinya juga mendorongnya untuk berpaling padaku untuk mendapatkan kenyamanan dan perlindungan. Jadi, kami berdiri sambil bergandengan tangan seperti dua orang anak kecil, dan ada kedamaian dalam hati kami, sekalipun kegelapan mengelilingi kami. 

"Tempat yang aneh!" kata Miss Morstan, sambil memandang sekitarnya. 

"Tampaknya seakan-akan semua tikus tanah di Inggris sudah dilepaskan di sini. Aku pernah melihat pemandangan semacam itu di sebuah bukit dekat Ballarat, di mana para pencari emas sedang bekerja." 

"Dan untuk sebab yang sama," kata Holmes. "Ini bekas-bekas pencari harta. Anda harus ingat, mereka sudah mencarinya selama enam tahun. Tidak heran kalau lahan di sini mirip tempat penggalian batu." 

Pada saat itu pintu rumah terempas membuka dan Thaddeus Sholto berlari keluar, tangannya terjulur ke depan dan matanya memancarkan kengerian. 

"Ada yang tidak beres dengan Bartholomew!" serunya. "Aku ketakutan! Sarafku tak mampu menanggungnya." 

Ia memang setengah menceracau karena ketakutan, wajahnya yang tersentak-sentak bagai mencuat dari balik kerah astrakhan yang lebar, memancarkan ketidakberdayaan, bagai wajah seorang anak kecil yang meminta pertolongan. 

"Kita masuk," kata Holmes dengan tegas. 

"Ya, masuklah!" pinta Thaddeus Sholto. "Aku benar-benar merasa tak mampu menunjukkan jalan." 

Kami semua mengikutinya ke kamar pengurus rumah, yang berada di sisi kiri lorong. Wanita tua tersebut tengah mondar-mandir dengan ekspresi ketakutan dan jemari gelisah, tapi melihat kemunculan Miss Morstan ia jadi lebih tenang. 

"Tuhan memberkati wajahmu yang manis dan tenang!" serunya sambil terisak histeris. "Senang sekali aku melihatmu. Oh, hari ini benar-benar berat untukku!" 

Teman kami menepuk-nepuk tangan wanita tua yang kurus itu dan menggumamkan beberapa kata penghiburan khas wanita, yang mengembalikan warna di pipi wanita tua yang pucat pasi tersebut. 

"Tuan mengunci diri di dalam kamar dan tidak menjawab panggilanku," katanya menjelaskan. "Aku sudah menunggu sepanjang hari, karena dia memang sering ingin dibiarkan seorang diri. Tapi satu jam yang lalu aku khawatir ada yang tidak beres, jadi aku naik ke atas dan mengintip melalui lubang kunci. Anda harus naik ke sana, Mr. Thaddeus—Anda harus ke sana dan melihatnya sendiri. Aku sudah pernah melihat Mr. Bartholomew Sholto dalam keadaan gembira dan sedih selama sepuluh tahun ini, tapi aku tak pernah melihatnya dengan ekspresi seperti itu." 

Sherlock Holmes mengambil lentera dan memimpin jalan, karena gigi Thaddeus Sholto bergemeletuk ribut. Begitu terguncangnya pria ini, hingga aku terpaksa menyelipkan tangan ke bawah ketiaknya sewaktu kami menaiki tangga, karena kedua lututnya terus gemetar. Dua kali, saat kami naik, Holmes mengeluarkan kaca pembesar dari sakunya dan memeriksa dengan hati-hati tanda-tanda yang menurutku sekadar bekas-bekas geseran debu pada karpet tangga yang berwarna kelapa. Ia melangkah perlahan-lahan dari anak tangga ke anak tangga, sambil mengacungkan lenteranya rendah, dan memandang kiri-kanan. Miss Morstan menunggu di bawah, bersama pengurus rumah yang ketakutan. 

Deretan anak tangga ketiga berakhir di sebuah lorong lurus yang cukup panjang, dengan sebuah gorden India di sebelah kanan dan tiga buah pintu di sebelah kiri. Holmes menyusuri lorong tersebut dengan pelan dan metodis, seperti semula, sementara kami terus mengikutinya dengan ketat, bayang-bayang kami yang hitam panjang membentang ke belakang di koridor. Pintu ketigalah yang kami tuju. Holmes mengetuknya tanpa mendapatkan jawaban. Lalu ia mencoba memutar kenopnya dan memaksa membuka. Tapi pintu tersebut dikunci dari dalam, dan dengan menggunakan selot lebar dan kuat, sebagaimana bisa kami lihat sewaktu mendekatkan lentera ke sana. Tapi, karena kuncinya diputar, lubangnya tidak sepenuhnya tertutup. Sherlock Holmes membungkuk mengintip ke sana, dan seketika menegakkan tubuh lagi diiringi napas tersentak. 

"Ada sesuatu yang kejam dalam hal ini, Watson," katanya, lebih tergerak daripada yang pernah kulihat sebelumnya. "Apa pendapatmu?" 

Aku membungkuk di depan lubang dan melompat mundur dengan perasaan ngeri. Sinar bulan menerobos masuk ke dalam ruangan, meneranginya dengan cahaya samar dan bergerak-gerak. Sebuah wajah memandang lurus kepadaku, tampaknya tergantung-gantung di udara, karena bagian bawahnya tersembunyi dalam bayang-bayang. Wajah Thaddeus. Kepalanya sama-sama tinggi mengilat, begitu pula cincin rambut kemerahannya, dan kulit wajahnya yang pucat pasi. Tapi wajahnya tersenyum mengerikan dalam seringai kaku dan tidak wajar, yang dalam ruangan sunyi dan diterangi cahaya bulan tersebut lebih mengguncang saraf daripada rengutan atau kernyitan apa pun. Wajahnya begitu mirip dengan teman kecil kami, hingga aku berpaling memandangnya untuk memastikan ia memang benar masih bersama-sama kami. Lalu aku teringat ia sudah mengatakan bahwa mereka kembar. 

"Ini mengerikan!" kataku pada Holmes. "Apa yang harus kita lakukan?" 

"Pintunya harus didobrak," jawab Holmes, lalu mengempaskan diri ke sana, menggunakan seluruh berat tubuhnya untuk menekan kuncinya. 

Pintu tersebut berderik dan mengerang, tapi tidak menyerah. Bersama-sama kami menggunakan tubuh kami untuk mendobraknya sekali lagi, dan kali ini pintunya terempas membuka diiringi suara keras, dan kami mendapati diri kami telah berada di dalam kamar Bartholomew Sholto. 

Tampaknya kamar tersebut telah dilengkapi hingga mirip sebuah laboratorium kimia. Di dinding seberang kamar berjajar dua deret botol bertutup kaca, dan di meja berserakan pembakar Bunsen, tabung-tabung uji, dan di sudut berdiri botol asam dalam keranjang rotan. Salah satunya tampak bocor atau pecah, karena ada cairan kehitaman yang menetes dari sana, dan udara dipenuhi bau tajam menusuk, mirip aspal. Sebuah tangga berdiri di salah satu sisi ruangan, di tengah-tengah serpihan semen dan gipsum, dan langit-langit di atasnya berlubang cukup besar untuk dilewati sesebrang. Di kaki tangga tersebut terdapat segulung tali yang ditumpuk sembarangan. 

Di dekat meja terdapat sebuah kursi berlengan dari kayu, di mana si pemilik rumah duduk bagai dionggokkan, dengan kepala terkulai pada bahu kirinya dan wajah memancarkan senyum menakutkan. Ia telah kaku dan dingin, dan jelas telah tewas berjam-jam yang lalu. Menurutku tampaknya bukan hanya wajahnya, tapi juga kaki dan tangannya, meliuk-liuk tidak keruan. Di meja di dekat tangannya terdapat sebuah alat aneh—sebatang tongkat kecokelatan dengan sebongkah batu di ujungnya, bagai sebatang palu, diikat secara kasar dengan tali dari serat. Di sampingnya terdapat sehelai kertas bertulisan. Holmes membacanya, lalu memberikannya padaku. 

"Lihatlah," katanya sambil mengangkat alis, memberi isyarat penting. 

Dengan bantuan cahaya lentera kubaca tulisan tersebut dengan perasaan ngeri, "Tanda empat." 

"Demi nama Tuhan, apa itu artinya?" tanyaku. 

"Itu berarti pembunuhan," kata Holmes, sambil membungkuk di atas mayat. "Ah! Sudah kuduga. Lihat ini!" 

Ia menunjuk sesuatu yang mirip sebatang duri panjang kehitaman yang mencuat dari kulit, tepat di atas telinga. 

"Tampaknya seperti duri," kataku. 

"Itu memang duri. Kau boleh mencabutnya. Tapi hati-hati, duri itu beracun." 

Aku mencabutnya dengan menggunakan ibu jari dan telunjukku. Duri tersebut terlepas dengan mudah, sehingga hampir tidak meninggalkan jejak. Hanya satu titik darah kecil yang menunjukkan di mana duri tadi menancap. 

"Semua ini sebuah misteri yang tidak bisa kumengerti," kataku. "Semakin lama semakin rumit, bukan semakin jelas." 

"Sebaliknya," jawab Holmes, "justru setiap saat semakin jelas. Aku hanya memerlukan beberapa mata rantai yang hilang untuk mengaitkan seluruh kasus ini." 

Kami hampir melupakan kehadiran kenalan kami sejak masuk ke dalam kamar. Ia masih berdiri di ambang pintu, wajahnya ketakutan, sambil meremas-remas tangan dan mengerang sendiri. Tapi tiba-tiba ia berseru keras. 

"Hartanya hilang!" katanya. "Mereka sudah merampok hartanya! Itu lubang tempat kami menurunkannya. Aku yang membantunya menurunkannya! Aku orang terakhir yang melihatnya dalam keadaan hidup! Aku meninggalkannya di sini semalam, dan aku mendengar dia mengunci pintu saat aku turun ke bawah." 

"Jam berapa?" 

"Jam sepuluh. Dan sekarang dia tewas, dan polisi akan dihubungi, dan aku akan dituduh terlibat dalam pembunuhan ini. Oh, ya, aku yakin akan dituduh begitu. Tapi kalian tidak sependapat, Tuan-tuan? Jelas kalian tidak menganggap aku yang membunuhnya, bukan? Kemungkinan kecil aku akan membawa kalian kemari kalau aku yang membunuhnya, bukan? Aduh! Aduh! Rasanya aku akan sinting!" 

Ia menyentak-nyentakkan tangannya dan mengentakkan kaki karena panik. 

"Anda tidak perlu takut, Mr. Sholto," kata Holmes dengan ramah, sambil memegang bahunya. "Dengarkan nasihatku dan pergilah ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Tawarkan untuk membantu mereka dengan segala cara. Kami akan menunggu Anda di sini." 

Pria kecil tersebut mematuhi dengan sikap setengah bingung, dan kami mendengar suara langkahnya terhuyung-huyung menuruni tangga dalam kegelapan.

sumber:link

Label:

Bab 4 - Kisah Pria Botak

0 komentar


Bab 4 - Kisah Pria Botak


Kami mengikuti orang India tersebut menyusuri lorong yang kotor dan biasa, remang-remang, dengan perabotan yang payah, hingga ia tiba di depan sebuah pintu di sebelah kanan. Ia membuka pintu itu, dan di tengah-tengah ruangan berdiri seorang pria kecil dengan kepala sangat tinggi, dengan beberapa helai rambut kemerahan di tepi-tepinya, dan kulit kepala mulus mengilat yang mencuat bagai puncak pegunungan dari sela-sela pepohonan cemara. Ia mengusap-usap tangannya sambil berdiri, dan ekspresinya terus-menerus berubah—kadang tersenyum, kadang merengut, tapi tak pernah sesaat pun diam. Bibirnya tebal, dan giginya yang kekuningan tidak teratur berusaha ditutupinya dengan terus-menerus mengusap bagian bawah wajahnya. Sekalipun kebotakannya sangat mencolok, ia mengesankan seorang pria yang masih muda. Sebenarnya usianya memang baru tiga puluh tahun. 

"Hamba Anda, Miss Morstan," katanya berulang-ulang dengan suara tinggi melengking. "Hamba kalian, Tuan-tuan. Silakan masuk ke tempat perlindungan kecilku. Tempat yang kecil, Nona, tapi dilengkapi sesuai seleraku. Sebuah oase seni di padang pasir London Selatan yang gersang." 

Kami semua terpesona melihat penampilan apartemen yang kami masuki itu. Di rumah yang menyedihkan ini, apartemen tersebut tampak bagai sebutir berlian kelas satu di latar belakang kuningan. Tirai-tirai dan gorden termewah dan paling mengilat menghiasi dinding-dindingnya, digulung di sana-sini untuk menampilkan lukisan mewah atau vas Oriental. Karpetnya berwarna merah tua dan hitam, begitu lembut dan tebal, sehingga kaki seperti terbenam nyaman di sana, bagaikan sebidang lumut. Dua buah kulit harimau besar dibentangkan untuk menambah kesan kemewahan Timur, sebagaimana sebuah hookah—pipa India—besar yang berdiri di atas sehelai matras di sudut. Sebuah lampu berbentuk merpati perak menjuntai pada kawat-kawat keemasan yang hampir tidak kasatmata di tengah-tengah ruangan. Dari sana menebar bau harum samar. 

"Mr. Thaddeus Sholto," kata pria kecil tersebut, sambil terus bergerak-gerak dan tersenyum. "Itu namaku. Anda Miss Morstan tentunya. Dan tuan-tuan ini..." 

"Ini Mr. Sherlock Holmes, dan ini Dr. Watson." 

"Seorang dokter, eh?" seru pria kecil tersebut, sangat bersemangat. "Anda membawa stetoskop? Bisa aku minta tolong—apa Anda tidak keberatan? Aku mendapat kesulitan dengan mitral valve-ku. Aorta-nya mungkin masih bagus, tapi aku membutuhkan pendapat Anda mengenai mitral-nya." 

Kudengarkan detak jantungnya, sesuai permintaannya, tapi tak mampu menemukan apa pun yang tidak beres, kecuali kalau ia tengah tercekam ketakutan, karena ia menggigil dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. 

"Tampaknya normal," kataku. "Anda tidak perlu gelisah." 

"Harap maafkan kegelisahanku, Miss Morstan," katanya dengan ringan. "Aku sangat menderita, dan sudah lama aku mencurigai katup itu. Aku sangat senang mendengar bahwa kecurigaanku ternyata tidak perlu. Seandainya ayah Anda menahan diri untuk tidak terlalu membebani jantungnya, dia pasti masih hidup sekarang." 

Aku hampir saja menghantam pria tersebut telak di wajahnya, karena begitu panas mendengar komentar sedingin itu terhadap masalah sepeka ini. Miss Morstan duduk, dan wajahnya pucat pasi hingga ke bibir. 

"Aku tahu dalam hati bahwa dia sudah meninggal," katanya. 

"Aku bisa memberitahukan segalanya," kata pria tersebut, "dan, lebih dari itu, aku bisa memberikan keadilan, dan itu akan kulakukan, tak peduli apa kata Brother Bartholomew. Aku senang sekali Anda membawa teman, bukan hanya sebagai pendamping tapi juga sebagai saksi akan apa yang hendak kukatakan dan kulakukan. Kita bertiga bisa menunjukkan ketegasan kepada Brother Bartholomew. Tapi sebaiknya kita tidak mengikutsertakan orang luar—tidak perlu polisi atau pejabat. Kita bisa membereskan segalanya dengan memuaskan di antara kita sendiri, tanpa ada campur tangan pihak lain. Tidak ada yang lebih menjengkelkan Brother Bartholomew selain publisitas." 

Ia duduk di sebuah kursi pendek dan mengerdipkan mata birunya yang lemah dan berair. 

"Bagiku," kata Holmes, "apa pun yang Anda katakan tidak akan menyebar lebih jauh." 

Aku mengangguk untuk menyatakan persetujuanku. 

"Itu bagus! Itu bagus!" kata pria tersebut. "Boleh kutawarkan segelas Chianti, Miss Morstan? Atau Tokay? Aku tidak menyimpan anggur yang lain. Boleh kubuka sebotol? Tidak? Well, kalau begitu, aku yakin kalian tidak keberatan dengan asap tembakau, dengan bau balsam tembakau Timur. Aku agak gugup, dan menurutku hookah itu merupakan obat penenang yang sangat berharga." 

Ia menyiapkan pipanya, lalu menikmati asapnya melalui air mawar yang menggelegak dengan riangnya. Kami semua duduk membentuk setengah lingkaran, dengan kepala terjulur dan dagu menempel di tangan, sementara pria kecil yang aneh dan gelisah tersebut, dengan kepalanya yang tinggi mengilat, mengisap pipa dengan tidak nyaman di tengah-tengah. 

"Sewaktu pertama kali membulatkan tekad untuk berkomunikasi dengan Anda," katanya, "aku bisa saja memberikan alamatku, tapi aku takut Anda tidak akan mengacuhkan permintaanku dan akan membawa orang-orang yang tidak menyenangkan bersama Anda. Oleh karena itu, aku mengatur sebegitu rupa supaya anak buahku William bisa melihat Anda lebih dulu. Aku percaya sepenuhnya bahwa dia bisa menjaga rahasia, dan dia sudah mendapat perintah, bahwa kalau dia tidak merasa puas, dia tak perlu melanjutkan tindakannya. Harap maafkan tindakan berjaga-jaga itu, tapi aku orang yang agak tertutup, dan kalau boleh kukatakan menurutku polisi sangatlah tidak menyenangkan. Aku memiliki kecenderungan alamiah untuk menjauhi segala bentuk kekasaran. Aku jarang sekali berhubungan dengan orang-orang yang kasar. Aku hidup, sebagaimana kalian lihat, dengan sedikit keanggunan di sekitarku. Aku menyebut diriku pelindung seni. Itu kelemahanku. Pemandangan di sini benar-benar sebuah Corot, dan sekalipun seorang pakar seni mungkin meragukan Salvator Rosa itu, paling tidak mereka tidak akan meragukan Bouguereau. Aku agak terpengaruh sekolah modern Prancis." 

"Maafkan aku, Mr. Sholto," kata Miss Morstan, "tapi aku datang kemari sesuai permintaan Anda untuk mengetahui sesuatu yang ingin Anda katakan padaku. Tapi sekarang sudah sangat larut, dan kurasa sebaiknya wawancara ini singkat saja." 

"Sebaiknya justru harus agak lama," jawab Thaddeus, "karena kita jelas harus pergi ke Norwood untuk menemui Brother Bartholomew. Kita semua harus pergi dan berusaha membujuk Brother Bartholomew. Dia sangat marah padaku karena melakukan apa yang menurutku benar. Semalam aku bertengkar cukup hebat dengannya. Kalian tak bisa membayangkan betapa buruknya dia kalau sedang marah." 

"Kalau kita harus ke Norwood, mungkin sebaiknya Anda ceritakan sekarang juga alasannya," kataku. 

Thaddeus tertawa terbahak-bahak hingga telinganya memerah. 

"Sulit," serunya. "Aku tidak tahu apa yang akan dikatakannya kalau aku mengajak kalian dengan cara tiba-tiba seperti itu. Tidak, aku harus mempersiapkan kalian dengan menunjukkan bagaimana posisi kita masing-masing. Pertama-tama, aku harus memberitahu kalian bahwa ada beberapa hal dalam ceritaku yang tidak kuketahui sendiri. Aku hanya bisa menyampaikan fakta-faktanya sebagaimana yang kuketahui. 

"Ayahku, seperti mungkin sudah kalian duga, adalah Mayor John Sholto, mantan Angkatan Darat India. Dia pensiun sekitar sebelas tahun yang lalu, dan tinggal di Pondicherry Lodge di Upper Norwood. Dia cukup berhasil di India, dan pulang membawa sejumlah besar uang, sejumlah besar koleksi benda-benda berharga, dan sekelompok pelayan pribumi. Dengan semua kelebihan ini, dia membeli sebuah rumah, dan tinggal dalam kemewahan besar. Saudara kembarku, Bartholomew, dan aku adalah satu-satunya anaknya. 

"Aku masih ingat dengan baik keributan yang disebabkan oleh menghilangnya Kapten Morstan. Kami membaca rinciannya di koran. Karena tahu bahwa dia teman Ayah, kami mendiskusikannya dengan bebas di hadapannya. Dia biasanya turut terlibat dalam spekulasi kami tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tak pernah kami menduga bahwa dia menyimpan seluruh rahasia mengenai kejadian itu, bahwa hanya dia seorang yang mengetahui nasib Arthur Morstan. 

"Tapi kami tahu bahwa ada misteri, ada bahaya positif, yang menyelimuti ayah kami. Dia sangat takut keluar seorang diri, dan dia selalu mempekerjakan dua petinju bayaran untuk pura-pura menjadi portir di Pondicherry Lodge. William, yang mengantar kalian malam ini, adalah salah satu di antaranya. Dia mantan juara kelas ringan se-Inggris. Ayah kami tak pernah memberitahukan apa yang ditakutinya, tapi dia paling takut terhadap pria berkaki kayu. Pernah dia benar-benar menembakkan revolvernya pada seorang pria berkaki kayu, yang terbukti seorang pedagang tidak berbahaya yang tengah berkeliling mencari pesanan. Kami harus membayar cukup besar untuk menutupi kejadian itu. Saudaraku dan aku dulu menganggap hal itu hanya sebagai keeksentrikan Ayah, tapi kejadian-kejadian yang berlangsung sejak itu menyebabkan kami berubah pikiran. 

"Pada awal tahun 1882, ayahku menerima surat dari India yang menyebabkan dia menderita shock hebat. Dia hampir jatuh pingsan di meja makan setelah membacanya, dan mulai saat itu dia jatuh sakit hingga hari kematiannya. Kami tak pernah tahu apa yang tertulis dalam surat itu, tapi aku bisa melihat bahwa surat tersebut singkat dan ditulis tangan. Ayah sudah bertahun-tahun menderita pembesaran limpa, tapi sekarang kondisinya memburuk dengan cepat, dan menjelang akhir April kami diberitahu bahwa dia sudah tidak tertolong lagi. Dan bahwa dia ingin berbicara untuk terakhir kalinya dengan kami. 

"Sewaktu kami memasuki kamarnya, dia telah disandarkan ke bantal dan bernapas dengan berat. Dia menyuruh kami mengunci pintu dan mendekat ke sampingnya di kedua sisi ranjang. Lalu, sambil mencengkeram tangan kami dia menyampaikan pernyataan yang luar biasa pada kami, dengan suara yang pecah akibat emosi dan kesakitan. Akan kucoba menyampaikan pada kalian, apa yang dikatakannya. 

"'Hanya ada satu hal yang membebani pikiranku pada saat-saat segenting ini,' katanya, 'yaitu perlakuanku terhadap putri Morstan yang malang. Keserakahan terkutuk yang merupakan dosa terbesarku sepanjang hidup sudah menghalanginya mendapatkan harta karun yang separuhnya seharusnya menjadi bagiannya. Padahal aku tidak menggunakan harta itu—sungguh membabi buta dan tolol keangkuhanku. Perasaan memiliki saja sudah begitu hebat, sehingga aku tidak tahan memikirkan harus membaginya. Lihat guci berbibir mutiara di samping botol itu. Aku tak bisa berpisah dengannya, sekalipun aku sudah merancang cara untuk mengirimkannya kepada putri Morstan. Kalian, putra-putraku, harus memberikan bagian yang adil dari harta karun Agra. Tapi jangan mengirimkan apa pun—bahkan guci itu—sebelum aku meninggal. Bagaimanapun, ada orang-orang yang pernah melakukan kesalahan seburuk ini dan berhasil memperbaikinya. 

"'Akan kuceritakan bagaimana Morstan tewas,' lanjutnya. 'Dia sudah bertahun-tahun menderita lemah jantung, tapi dia menutupinya dari semua orang. Hanya aku yang mengetahuinya. Sewaktu di India, dia dan aku, melalui serangkaian situasi yang luar biasa, berhasil mendapatkan harta karun yang tak ternilai. Aku membawanya ke Inggris, dan pada malam kedatangan Morstan, dia langsung kemari untuk meminta bagiannya. Dia berjalan kaki dari stasiun dan diterima oleh Lai Chowdar yang setia, yang sekarang telah meninggal. Morstan dan aku berbeda pendapat mengenai pembagian harta itu, dan kami pun bertengkar. Morstan melompat bangkit dari kursinya karena marah, namun tiba-tiba dia menekan sisi tubuhnya, wajahnya berubah kelabu pucat, dan dia jatuh ke belakang, kepalanya terantuk sudut peti harta. Sewaktu aku membungkuk di atasnya, kudapati dia telah meninggal, dan aku sangat ketakutan. 

"'Aku duduk kebingungan... lama, bertanya-tanya apa yang harus kulakukan. Dorongan hatiku yang pertama, tentu saja, meminta bantuan. Tapi aku sadar ada kemungkinan aku akan dituduh sebagai pembunuhnya. Kematiannya pada saat pertengkaran kami, dan luka di kepalanya, akan memperburuk situasiku. Sekali lagi, interogasi resmi tidak akan bisa dilakukan tanpa mengungkap fakta-fakta mengenai harta karun itu, padahal aku sangat ingin merahasiakannya. Morstan sudah memberitahukan padaku bahwa tak seorang pun tahu ke mana dia pergi. Tampaknya tak perlu ada orang lain yang tahu. 

"'Ketika aku masih mempertimbangkan masalah itu, kulihat pelayanku, Lai Chowdar, di ambang pintu. Dia menyelinap masuk dan mengunci pintunya. "Jangan takut, Sahib," katanya, "tak perlu ada yang tahu bahwa Anda sudah membunuhnya. Kita sembunyikan saja mayatnya, dan siapa yang bisa lebih bijaksana lagi?" "Aku tidak membunuhnya," kataku. Lai Chowdar menggeleng dan tersenyum. "Aku mendengar semuanya, Sahib," katanya. "Aku mendengar pertengkaran kalian, dan aku mendengar pukulan itu. Tapi mulutku tertutup rapat. Semua orang lainnya sudah tidur di rumah ini. Ayo kita singkirkan mayatnya." Hal itu sudah cukup bagiku untuk mengambil keputusan. Kalau pelayanku sendiri tidak bisa mempercayai bahwa aku tidak bersalah, bagaimana aku bisa berharap untuk meyakinkan dua belas pedagang bodoh di kotak juri? Lai Chowdar dan aku menyingkirkan mayatnya malam itu, dan dalam beberapa hari koran-koran London dipenuhi berita tentang menghilangnya Kapten Morstan secara misterius. 

"'Dari apa yang kusampaikan ini, kalian tentunya menyadari bahwa aku tak bisa disalahkan atas masalah itu. Kesalahanku hanyalah pada fakta bahwa kami menyembunyikan bukan hanya mayatnya, tapi juga harta karunnya, dan aku juga menyimpan bagian Morstan bersama-sama dengan bagianku. Karena itu, kuharap kalian menggantinya. Dekatkan telinga kalian ke mulutku. Harta karunnya disemhunyikan di...' 

"Pada saat itu ekspresinya berubah hebat, matanya menatap liar, rahangnya ternganga, dan dia berteriak-teriak dengan suara yang tidak akan pernah kulupakan, 'Singkirkan dia! Demi Kristus, jangan sampai dia masuk!' Kami berdua berpaling menatap jendela di belakang kami, ke mana pandangannya terpaku. Ada seseorang tengah memandang kami dari dalam kegelapan. Kami bisa melihat hidungnya yang memutih karena ditempelkan di kaca. Pria itu berjanggut, dengan wajah berbulu, mata liar yang kejam dan ekspresi jahat yang amat sangat. Saudaraku dan aku bergegas mendekati jendela, tapi pria itu sudah pergi. Sewaktu kami kembali mendekati Ayah, kepalanya telah terkulai dan jantungnya tidak lagi berdetak. 

"Kami mencari-cari di kebun malam itu, tapi tidak menemukan tanda-tanda si penyusup. Namun tepat di bawah jendela kami menemukan satu jejak yang terlihat jelas di petak bunga. Kalau bukan karena jejak itu, kami mungkin akan mengira imajinasi kamilah yang telah menciptakan wajah menyeramkan itu. Tapi, tak lama kemudian, kami mendapat bukti lain yang lebih mencolok bahwa memang ada agen-agen rahasia yang bekerja di sekitar kami. Jendela kamar ayahku ditemukan terbuka di pagi hari, lemari dan kotak-kotaknya sudah digeledah, dan di peti ayahku ditempelkan sepotong kertas bertuliskan 'Tanda empat'. Apa artinya atau siapa tamu misterius kami, kami tak pernah mengetahuinya. Sepanjang yang bisa kami perkirakan, tak satu pun properti ayahku yang dicuri, walau segala sesuatunya sudah diaduk-aduk. Wajar saja kalau saudaraku dan aku mengaitkan kejadian aneh ini dengan ketakutan yang menghantui ayahku seumur hidupnya, tapi hal itu masih merupakan misteri sepenuhnya bagi kami." 

Pria kecil rersebut berhenti untuk menyulut kembali hookah-nya dan memusatkan perhatiannya ke sana selama beberapa saat. Kami semua duduk diam meresapi ceritanya yang luar biasa. Pada saat disebutkan tentang kematian ayahnya, Miss Morstan berubah pucat pasi, dan sesaat aku khawatir ia akan jatuh pingsan. Tapi ia berhasil bertahan, setelah menenggak segelas air yang kutuangkan dari sebuah guci Venezia di meja samping. Sherlock Holmes menyandar di kursinya dengan ekspresi menerawang, kelopak matanya hampir menutupi matanya yang berkilau-kilau. Saat melirik ke arahnya, aku jadi berpikir betapa tadi ia mengeluh dengan pahit akan kedataran hidup ini. Akhirnya ada masalah yang akan menguras tenaganya habis-habisan. Mr. Thaddeus Sholto memandang kami bergantian dengan kebanggaan yang nyata atas pengaruh ceritanya, lalu melanjutkan sambil mengisap pipanya yang terlalu besar. 

"Saudaraku dan aku," katanya, "sebagaimana mungkin sudah kalian bayangkan, sangat bersemangat mengenai harta karun yang dibicarakan ayahku. Selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan kami menggali dan meneliti setiap bagian kebun, tanpa menemukan tanda-tanda keberadaan harta itu. Sungguh menjengkelkan kalau memikirkan bahwa tempat persembunyian harta itu sudah ada di bibirnya saat dia meninggal. Kami bisa memperkirakan besarnya kekayaan yang hilang berdasarkan guci yang dikeluarkannya. Saudaraku Bartholomew dan aku sempat mendiskusikan guci ini. Mutiara-mutiaranya jelas bernilai sangat tinggi, dan saudaraku merasa keberatan berpisah dengannya karena—antara kita saja—saudaraku sendiri agak cenderung mengulangi kesalahan Ayah. Dia juga menganggap kalau kami memberikan guci itu, akan timbul gosip yang akhirnya menimbulkan masalah bagi kami. Tapi aku bisa membujuknya agar mengizinkan aku mencari alamat Miss Morstan dan mengirimkan mutiara-mutiaranya secara terpisah selama selang waktu tertentu, sehingga paling tidak Miss Morstan tidak akan pernah kekurangan." 

"Anda baik sekali," kata Miss Morstan, "Anda sungguh baik." 

Pria kecil tersebut mengibaskan tangan. 

"Kami ini wali Anda," katanya, "aku memandangnya begitu, sekalipun Brother Bartholomew tidak bisa beranggapan begitu. Kami sendiri sudah memiliki banyak uang. Aku tidak menginginkan lebih banyak lagi. Lagi pula, sungguh tak pantas memperlakukan seorang wanita muda dengan cara seperti itu. 'Le mauvais goût mène au crime.' Orang Prancis sangat pandai dalam mengungkapkan hal-hal seperti ini. Perbedaan pendapat kami mengenai hal ini berlanjut sebegitu rupa, hingga akhirnya aku merasa lebih baik mencari tempat sendiri. Jadi, kutinggalkan Pondicherry Lodge, sambil membawa khitmutgar tua dan William bersamaku. Tapi kemarin aku mengetahui ada kejadian yang sangat penting. Harta karunnya sudah ditemukan. Aku langsung menghubungi Miss Morstan, dan sekarang kita tinggal menuju Norwood untuk menuntut bagian kita. Semalam sudah kujelaskan pandanganku pada Brother Bartholomew, jadi kedatangan kita sudah diharapkan, walau mungkin tidak diterima." 

Mr. Thaddeus Sholto berhenti bicara dan duduk bergoyang-goyang di kursinya yang mewah. Kami semua membisu, sibuk memikirkan perkembangan baru dari urusan misterius ini. Holmes yang pertama kali bangkit berdiri. 

"Anda sudah melakukannya dengan baik, Sir, dari awal hingga akhir," katanya. "Ada kemungkinan kami bisa membalasnya dengan mengungkap beberapa hal yang mungkin masih belum Anda ketahui. Tapi, seperti kata Miss Morstan, sekarang sudah larut, dan sebaiknya kita segera menyelesaikan masalah ini tanpa menunda-nundanya lebih lama lagi." 

Kenalan baru kami tersebut dengan sangat lambat menggulung slang hookah, dan dari balik sehelai tirai mengeluarkan mantel luar yang sangat panjang, dengan kerah.dan manset astrakhan. Ia mengancingkan mantel tersebut rapat-rapat, sekalipun malam itu tidak bisa dikatakan dingin, dan melengkapi pakaiannya dengan mengenakan topi kulit kelinci dengan lidah yang menutupi telinganya, sehingga hanya wajahnya yang terlihat. 

"Kesehatanku agak rapuh," katanya sambil mengajak kami melewati lorong. "Aku harus menjaganya dengan sangat hati-hati." 

Kereta masih menunggu di luar, dan jelas kegiatan kami telah direncanakan sebelumnya, karena sang kusir segera memacu kereta secepat mungkin. Thaddeus Sholto terus-menerus berceloteh dengan suara tinggi melengking yang mengalahkan keributan roda kereta. 

"Bartholomew orang yang cerdik," katanya. "Menurut Anda, bagaimana dia bisa menemukan harta karun itu? Dia sudah menyimpulkan bahwa harta itu disembunyikan di dalam rumah, jadi dia menyelidiki setiap bagian rumah dan mengukur segala sesuatunya, hingga tak satu inci pun terlewatkan. Di antaranya, ia mendapati ketinggian bangunan adalah 22 meter, tapi saat menambahkan semua ketinggian ruangan dan memperkirakan sela di antaranya, yang dipastikan dengan mengebornya, jumlah yang didapatkan hanya 21 meter. Ada semeter yang hilang. Dan itu hanya mungkin di bagian atas bangunan. Oleh karena itu, dia melubangi langit-langit kamar paling atas. Dan, jelas, di sana dia menemukan celah kecil yang sudah ditutup dan tidak diketahui keberadaannya oleh siapa pun. Di tengah-tengahnya ada kotak harta yang diletakkan di antara dua balok penopang. Dia menurunkan kotak itu melalui lubang, dan hartanya ternyata memang ada di sana. Dia memperhitungkan nilai perhiasannya tidak kurang dari setengah juta poundsterling." 

Mendengar jumlah yang luar biasa besar tersebut, kami semua membelalak saling pandang. Miss Morstan, kalau kami bisa mendapatkan haknya, akan berubah dari seorang pengurus anak yang miskin menjadi orang terkaya di Inggris. Seorang teman yang setia sudah selayaknya merasa gembira mendengar kabar itu, namun aku malu mengakui bahwa perasaan egois menguasaiku dan perasaanku berubah sangat berat, bagai dibebani timah. Aku mengucapkan selamat dengan tergagap-gagap, lalu menunduk diam, menulikan diri dari celoteh kenalan baru kami. Jelas ia seorang hypochondriac, dan aku setengah menyadari bahwa ia tengah menyampaikan sederetan gejalanya, dan tengah menjelaskan berbagai komposisi dan obat-obat tak jelas yang beberapa di antaranya ia bawa dalam sebuah kotak kulit di sakunya. Aku yakin ia tidak ingat semua jawaban yang kuberikan padanya malam itu. Holmes menyatakan bahwa ia tanpa sengaja mendengarku memperingatkan Thaddeus akan besarnya bahaya mengkonsumsi lebih dari dua tetes minyak kastroli, dan merekomendasikan dosis besar strychnine sebagai obat penenang. Apa pun yang terjadi, aku jelas merasa lega sewaktu kereta kami tersentak berhenti dan kusirnya melompat turun untuk membukakan pintu. 

"Ini, Miss Morstan, adalah Pondieherry Lodge," kata Mr. Thaddeus Sholto sambil membantunya turun.
 
Sumber:link

Blogger Banua

Blogger Banua